Thursday, 4 October 2018
Thursday, 27 July 2017
Perjanjian Bersama dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial bisa dibatalkan / diingkari?
Undang Undang No 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial / PPHI berlandaskan pada geist penyelesaian secara musyawarah mufakat antara para pihak yang berselisih tanpa campur tangan dari pihak lain merupakan cara terbaik untuk menyelesaikan perselisihan / sengketa hukum antara pekerja dengan pengusaha. Ruh musyawarah mufakat ini termaktub di :
a. Pasal 3 ayat 1 yang berbunyi :
" Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat ".
b. Penjelasan Umumnya yang berbunyi :
"Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian bipartit ini dilakukan melalui musyawarah mufakat oleh para pihak tanpa dicampuri oleh pihak manapun ".
Norma hukum musyawarah mufakat ini bersifat perintah / gebod ".....wajib diupayakan...", tidak hanya sekedar anjuran / mogen , jadi wajib dijalankan untuk melakukan upaya musyawarah mufakat. Kalau tidak dijalankan upaya musyawarah mufakat maka tidak dapat dilakukan upaya penyelesaian perselisihan ke tahap berikutnya yaitu melibatkan pihak ke -3 ( mediasi,konsiliasi,arbitrase), secara formil bukti upaya ini adalah dibuatnya Risalah Bipartit.
Konsep Musyawarah Mufakat atau dengan kata lain upaya mencapai kesepakatan bersama ini " ditekankan " tidak hanya dalam untuk dapat terjadi dalam tahap :
Non Litigasi
1. Perundingan bipartit, antara pekerja / serikat pekerja dengan pengusaha / serikat lain
2. Perundingan Tripartit/melibatkan pihak ke-3 : mediasi, rekonsiliasi dan arbritase
Litigasi
1. Sebelum Tergugat menyampaikan jawaban Tergugat, dimana Penggugat mencabut gugatannya.
Khusus Perdamaian / kesepakatan yang terjadi karena upaya dari Hakim sesuai dengan mandat Pasal 130 HIR atau setelah jawaban Tergugat dituangkan dalam penetapan pengadilan.
Hasil dari musyawarah mufakat ini dituangkan dalam wujud Perjanjian Bersama, khusus musyawarah mufakat di Arbitase disebut dengan Akta Perdamaian, yang berisi kesepakatan bersama antara pihak pekerja / serikat pekerja dengan pengusaha / serikat pekerja lain.
Perbedaan Perjanjian Bersama dengan Akta Perdamaian adalah Perjanjian Bersama ditandatangani kedua belah pihak, sedangkan Akta Perdamaian ditandatangani kedua belah pihak plus Arbiter. Tetapi secara substansinya sama yaitu sebuah Perjanjian yang mendasarkan pada pasal 1320 dan 1338 BW, yang mana berlaku asas kebebasan berkontrak dan akibat hukum dari perjanjian tersebut adalah berlaku dan mengikat kepada para pihak dalam perjanjian tersebut seperti undang - undang / asas pacta sunt servanda.
Mari kita lihat pengaturan di Undang Undang No 2 tahun 2004 tentang "ruh" musyawarah mufakat dengan wujud Perjanjian Bersama sbb :
Pasal 7
(1) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak.(2) Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.
(3) Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama.
(4) Perjanjian Bersama yang telah didaftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.
(5) Apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.
(6) Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Pasal 13
(1) Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka:
a. mediator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(3) Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e dilakukan sebagai berikut:
a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama;
b. apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Pasal 23
(1) Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka:
a. konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka, dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(3) Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e dilakukan sebagai berikut:
a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama;
b. apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama di daftar untuk mendapat penetapan eksekusi;
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Pasal 44
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter harus diawali dengan upaya mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih.
(2) Apabila perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercapai, maka arbiter atau majelis arbiter wajib membuat Akta Perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan arbiter atau majelis arbiter.
(3) Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter mengadakan perdamaian.
(4) Pendaftaran Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilakukan sebagai berikut:
a. Akta Perdamaian yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Akta Perdamaian;
b. apabila Akta Perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Akta Perdamaian didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi;
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Akta Perdamaian, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
(5) Apabila upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) gagal, arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase.
Asas Kebebasan Berkontrak
Penegasan mengenai adanya kebebasan berkontrak ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa : " semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya." Hal ini juga dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang - undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah.
Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:
1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.
3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya.
4. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional).
Ada argumentasi yang menyatakan bahwa Perjanjian Bersama yang menyepakati penyelesaian perselisihan hubungan industrial khususnya hal besaran uang hak PHK di bawah peraturan Undang Undang adalah batal demi hukum karena melanggar syarat perjanjian Pasal 1320 BW tentang causa halal. contoh : pesangon dibawah ketentuan undang - undang no 13 tahun 2003.
Argumentasi ini kelihatan benar tapi menyesatkan. Benar bahwa Perjanjian itu tidak boleh melanggar peraturan perundang - undangan sebagai syarat causa halalnya, tetapi dalam perselisihan hubungan industrial dimana ruhnya adalah musyawarah mufakat. Apabila harus sesuai dengan yang tertulis di aturan hukum tentunya hukum tidak memberikan peluang untuk musyawarah mufakat karena hakekat dari musyawarah mufakat adalah kehendak bebas para pihak. Dengan begitu maka dapat dimaknai bahwa ketentuan pesangon bersifat opsional atau pilihan dalam konteks musyawarah mufakat yaitu Perjanjian Bersama.
Kesimpulan
Perjanjian Bersama selama memenuhi unsur pasal 1320 BW maka berlaku bagai undang - undang bagi para pihak dan tidak bisa dibatalkan tanpa kesepakatan para pihak.
Kesimpulan
Perjanjian Bersama selama memenuhi unsur pasal 1320 BW maka berlaku bagai undang - undang bagi para pihak dan tidak bisa dibatalkan tanpa kesepakatan para pihak.
Wednesday, 26 July 2017
Ayo menjadi Pekerja Tetap
Norma hukum tentang pengecualian sifat pekerjaan yang diperbolehkan mengangkat pekerja secara tidak permanen atau pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu, familiarnya disebut "pekerja kontrak" sudah sangat jelas dan tegas diatur di Pasal 59 ayat 1 Undang Undang No 13 tahun 2003 :
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu ( PKWT ) hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Perumusan jenis dan sifat pekerjaan waktu tertentu ini bersifat alternatif, sehingga salah satu terpenuhi maka dapat dilakukan PKWT. Secara A-contrarorio, semua jenis dan sifat pekerjaan yang tidak termasuk dalam rumusan ayat 1 dari Pasal 59 tersebut adalah sifat dan jenis pekerjaan waktu tidak tertentu sehingga harus dibuat dalam Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu / PKWTT atau pekerjaan tetap atau pekerjanya wajib berstatus pekerja tetap.
Oleh karena itu "demi hukum" PKWT menjadi PKWTT, diatur dalam pasal 59 ayat 7 dan pasal 57 ayat 2, apabila PKWT tersebut memenuhi unsur :
1. Bukan termasuk jenis dan sifat pekerjaan waktu tertentu
2. Melanggar durasi PKWT yaitu paling lama 2 tahun, perpanjangan paling lama 1 tahun , pembaharuan paling lama 2 tahun.
3. Melanggar prosedur perpanjangan dan pembaharuan PKWT yaitu tidak ada pemberitahuan perpanjangan secara tertulis kepada pekerja dan atau tidak diberitahukan ke pekerja paling lambat 7 hari sebelum Perjanjian pertama selesai, serta tidak ada jeda atau ada jeda tapi kurang dari 30 hari sejak Perjanjian perpanjangan berakhir.
4. PKWT dibuat tidak tidak tertulis
Dengan pengaturan PKWT limitatif diatas dapat dipastikan bahwa PKWT yang sah tetapi lebih dari 5 tahun dan PKWT yang tidak sah adalah pekerjaan yang bersifat tetap dan atau PKWTT dan atau pekerjanya wajib menjadi Pekerja Tetap.
Bagaimana caranya PKWT yang melanggar aturan limitatif PKWT diubah menjadi PKWTT/Pekerja Tetap ?
1. Dengan melakukan perundingan bipartit dengan Perusahaan. Ini cara yang paling baik, kedua belah pihak duduk bersama, musyawarah mufakat menyelesaikan permasalahan tersebut tanpa ada yang merasa kalah atau menang.
2. Dengan melaporkan ke Bagian Pengawasan Dinas Tenaga Kerja atas terjadinya pelanggaran norma hukum tentang PKWT tersebut dan jika terbukti benar maka wajib diterbitkan Nota Pemeriksaan khusus, mengacu pada pasal 34 Permennaker nomor 33 tahun 2016.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung No 363 K/TUN/2012 dan putusan Mahkamah Konstitusi No 7/PUU-XII/2014 bahwa Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Dinas Tenaga Kerja adalah Keputusan Tata Usaha Negara / KATUN.
3. Melakukan pengesahan Nota Pemeriksaan khusus tersebut ke Pengadilan Negeri.
Ini yang belum jelas prosedurnya, apakah ini bersifat legalisasi seperti pendaftaran Perjanjian Bersama atau penetapan yg harus melalui putusan hakim / gugatan voluntair. Apabila mengacu kepada putusan MA dan MK diatas yang menyatakan bahwa Nota Pemeriksaan adalah KATUN maka semestinya proses ke pengadilan hanya sebatas legalisasi.
Dan nota pemeriksaan langsung bisa dieksekusi atau dijalankan walaupun belum didaftarkan ke pengadilan karena berupa KATUN.
Ayo menjadi pekerja tetap!!!!!
Oleh karena itu "demi hukum" PKWT menjadi PKWTT, diatur dalam pasal 59 ayat 7 dan pasal 57 ayat 2, apabila PKWT tersebut memenuhi unsur :
1. Bukan termasuk jenis dan sifat pekerjaan waktu tertentu
2. Melanggar durasi PKWT yaitu paling lama 2 tahun, perpanjangan paling lama 1 tahun , pembaharuan paling lama 2 tahun.
3. Melanggar prosedur perpanjangan dan pembaharuan PKWT yaitu tidak ada pemberitahuan perpanjangan secara tertulis kepada pekerja dan atau tidak diberitahukan ke pekerja paling lambat 7 hari sebelum Perjanjian pertama selesai, serta tidak ada jeda atau ada jeda tapi kurang dari 30 hari sejak Perjanjian perpanjangan berakhir.
4. PKWT dibuat tidak tidak tertulis
Dengan pengaturan PKWT limitatif diatas dapat dipastikan bahwa PKWT yang sah tetapi lebih dari 5 tahun dan PKWT yang tidak sah adalah pekerjaan yang bersifat tetap dan atau PKWTT dan atau pekerjanya wajib menjadi Pekerja Tetap.
Bagaimana caranya PKWT yang melanggar aturan limitatif PKWT diubah menjadi PKWTT/Pekerja Tetap ?
1. Dengan melakukan perundingan bipartit dengan Perusahaan. Ini cara yang paling baik, kedua belah pihak duduk bersama, musyawarah mufakat menyelesaikan permasalahan tersebut tanpa ada yang merasa kalah atau menang.
2. Dengan melaporkan ke Bagian Pengawasan Dinas Tenaga Kerja atas terjadinya pelanggaran norma hukum tentang PKWT tersebut dan jika terbukti benar maka wajib diterbitkan Nota Pemeriksaan khusus, mengacu pada pasal 34 Permennaker nomor 33 tahun 2016.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung No 363 K/TUN/2012 dan putusan Mahkamah Konstitusi No 7/PUU-XII/2014 bahwa Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Dinas Tenaga Kerja adalah Keputusan Tata Usaha Negara / KATUN.
3. Melakukan pengesahan Nota Pemeriksaan khusus tersebut ke Pengadilan Negeri.
Ini yang belum jelas prosedurnya, apakah ini bersifat legalisasi seperti pendaftaran Perjanjian Bersama atau penetapan yg harus melalui putusan hakim / gugatan voluntair. Apabila mengacu kepada putusan MA dan MK diatas yang menyatakan bahwa Nota Pemeriksaan adalah KATUN maka semestinya proses ke pengadilan hanya sebatas legalisasi.
Dan nota pemeriksaan langsung bisa dieksekusi atau dijalankan walaupun belum didaftarkan ke pengadilan karena berupa KATUN.
Ayo menjadi pekerja tetap!!!!!
Monday, 10 July 2017
Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
Perbuatan Melawan Hukum / onrechtmatige daad didefinisikan dalam Pasal 1365 KUHPerdata sebagai berikut : “ Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Dari pasal ini kita dapat merumuskan unsur - unsur PMH yaitu:
1. Adanya kesalahan
2. Perbuatan melawan hukum
3. Adanya kerugian
4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian
Berikut ini penjelasan bagi masing-masing unsur dari perbuatan melawan hukum tersebut :
1. Adanya Kesalahan dari Pihak Pelaku Agar dapat dikenakan Pasal 1365 KUHPerdt. tentang Perbuatan Melawan Hukum, undang-undang dan yurisprudensi mensyaratkan agar pada pelaku haruslah mengandung unsur kesalahan (schuldement) dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Dengan dicantumkannya syarat kesalahan dalam Pasal 1365 KUHPerdt., pembuat undang-undang berkehendak menekankan bahwa pelaku perbuatan melawan hukum, hanyalah bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya apabila perbuatan tersebut dapat dipersalahkan padanya.
Suatu tindakan dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. Ada unsur kesengajaan
b. Ada unsur kelalaian (negligence, culpa)
c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain-lain.
2. Perbuatan Melawan Hukum adalah perbuatan baik aktif maupun pasif yang melawan hukum. Adapun unsur - unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku
b. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum si pelaku
c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
d. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden)
e. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.
4. Adanya Kerugian Bagi Korban Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdt. dapat dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materil, maka kerugian karena perbuatan melawan hukum di samping kerugian materil, yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian immaterial yang juga akan dinilai dengan uang.
Pemberian ganti rugi ini hukumnya "wajib" bagi pelaku, yang secara a contrario hak bagi korban, senilai dengan kerugian yang diderita oleh orang tersebut.
Penggantian kerugian sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan hukum, sebagaimana telah disinggung diatas, dapat berupa penggantian kerugian materiil dan immateriil. Per definisi tentang kerugian sebagai akibat dari suatu perbuatan melawan hukum diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu :
a. Kerugian yang bersifat actual (actual loss) adalah kerugian yang mudah dilihat secara nyata atau fisik, baik yang bersifat materiil dan immateriil. Kerugian ini didasarkan pada hal-hal kongkrit yang timbul sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum dari pelaku.
b. kerugian yang akan datang adalah kerugian-kerugian yang dapat diperkirakan akan timbul dimasa mendatang akibat adanya perbuatan melawan hukum dari pihak pelaku. Kerugian ini seperti pengajuan tuntutan pemulihan nama baik melalui pengumuman di media cetak dan atau elektronik terhadap pelaku. Ganti kerugian dimasa mendatang ini haruslah didasarkan pula pada kerugian yang sejatinya dapat dibayangkan dimasa mendatang dan akan terjadi secara nyata.
5. Adanya Hubungan Kausal Antara Perbuatan Dengan Kerugian Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang terjadi juga merupakan syarat dari suatu perbuatan melawan hukum. Penjelasannya adalah orang / badan hukum perdata melakukan Kesalahan berupa perbuatan yang tidak sesuai dengan norma, dalam hal PMH ini kesalahan tersebut melawan norma hukum, dimana perbuatan kesalahan yang melawan hukum tersebut mengakibatkan / mempunyai hubungan dengan adanya kerugian yang diderita oleh orang lain.
Apabila suatu perbuatan memenuhi unsur - unsur PMH maka bagi pihak yang merasa dilanggar haknya dapat melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri tentang Perbuatan Melawan Hukum.
wassalam
Isnanto, SH
Friday, 2 June 2017
Sejenak Mikir Poligami
Hukum Poligami
Konstruksi hukum perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang Undang No 1 tahun 1974 adalah monogami dan monoandri, artinya 1 istri dan 1 suami, sebagaimana penjelasan berikut :
1. Pasal 1, yang berbunyi : " perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."
2. Pasal 3 ayat 1, yang berbunyi : " pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami."
Akan tetapi Pengadilan diberikan wewenang untuk memberikan ijin kepada suami untuk beristri lebih dari satu, tetapi tidak bersuami lebih dari satu, diatur dalam Pasal 4 Undang Undang no 1 tahun 1974 juncto Pasal 40 dan 41 huruf a Peraturan Pemerintah no 9 Tahun 1975, dengan alasan salah satu dari alasan dibawah ini :
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
seperti: melayani kebutuhan ranjang suaminya karena sakit atau keterbatasan fisik, nusyuz / membangkang suami.
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
seperti : Tangan terpotong, wajah ancur terbakar, dst. dalam hukum islam kondisi ini tetap merujuk kepada alasan istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan
Apabila alasan poligami sesuai dengan salah satu alasan diatas maka harus menyertakan syarat pengajuan poligami sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang undang no 1 tahun 1974 juncto Pasal 41 huruf b, c dan d Peraturan Pemerintah no 9 tahun 1975 yaitu :
1. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
3. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Kritik terhadap alasan diperbolehkannya poligami sbb :
1. Perlu adanya bukti medis atau keterangan medis yang menyatakan bahwa istri memang mengalami cacat / penyakit / keadaan tertentu yang tidak memungkinkan untuk menjalankan kewajiban ranjangnya.
2. Untuk Nusyuz semestinya ada bukti pengakuan istri dan saksi
3. Istri yang mandul harusnya ada batasan waktu, misalnya 5 tahun setelah menikah, dan disertai bukti medis tentang kondisi kesuburan istri dan suami. Hal ini penting agar ada tolok ukur mandul yang jelas, sehingga jika suami yang mandul dan atau suami istri yang mandul tentunya sia - sia melakukan poligami.
Untuk syarat pengajuan ijin poligami bersifat akumulatif, artinya harus terpenuhi semua, dimana ketiga syarat tersebut harus dengan bukti tertulis dan kemampuan ekonomi suami harus benar - benar mencukupi untuk menghidupi istri - istri dan anak - anaknya secara wajar.
Akan tetapi syarat adanya persetujuan dari istri / istri - istri ditelikung oleh Kompilasi Hukum Islam Pasal 59 yang berbunyi :
"Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi."
Apakah Kompilasi Hukum Islam / KHI adalah peraturan perundang undangan? Jika merujuk pada Undang Undang no 12 tahun 2011 Pasal 7 ayat 1 maka Kompilasi Hukum Islam bukan peraturan perundang undangan karena tidak jelas siapa yang membuat dan siapa yang mengesahkan, yang ada hanya instruksi presiden untuk menyebarluaskan KHI tetapi bukan mengesahkan. Oleh karena itu KHI tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk memutuskan perkara poligami ini. Sehingga tanpa persetujuan istri seharusnya ijin poligami tetap tidak bisa diberikan.
Prosedur Permohonan Poligami
- Calon suami datang ke Kelurahan/Desa meminta surat pengantar ke Pengadilan dengan membawa KTP dan Kartu Keluarga
- Datang ke Pengadilan Agama dengan membawa surat-surat dari Kelurahan/ Desa, surat persetujuan dari isteri pertama, surat pernyataan bisa berlaku adil, surat keterangan penghasilan dan surat-surat lain yang dibutuhkan Pengadilan Agama
- Sidang penetapan izin poligami di Pengadilan Agama
- Datang ke Kelurahan/Desa dengan membawa penetapan izin poligami dan meminta surat-surat untuk pernikahan berupa surat keterangan
- Laporan Pernikahan ke KUA Kecamatan
- Ijab Qabul.
Pembatalan poligami
Syarat sahnya poligami adalah penetapan pengadilan yang mengijinkan seseorang untuk poligami, tentunya penetapan tersebut seharusnya memenuhi alternatif alasan dan komulatif syaratnya diatas.
Dalam prakteknya poligami "mungkin" terjadi dengan kondisi sebagai berikut :
1. Tanpa adanya penetapan pengadilan tetapi KUA tetap mencatat perkawinannya, ini bertentangan dengan Pasal 20 Undang Undang No 1 Tahun 1974.
2. Penetapan Pengadilan yang tidak memenuhi unsur alternatif alasan dan komulatif syaratnya poligami, khususnya istri tidak memberikan ijin tetapi penetapan poligami tetap dilakukan oleh pengadilan atau istri tidak mengetahui dan atau dipanggil pengadilan terkait dengan penetapan poligami.
Apabila ada poligami yang diduga tidak memenuhi syarat - syaratnya maka istri dapat melakukan gugatan untuk pembatalan perkawinan poligami tersebut berdasarkan pasal 22 Undang Undang No 1 Tahun 1974.
Syarat sahnya poligami adalah penetapan pengadilan yang mengijinkan seseorang untuk poligami, tentunya penetapan tersebut seharusnya memenuhi alternatif alasan dan komulatif syaratnya diatas.
Dalam prakteknya poligami "mungkin" terjadi dengan kondisi sebagai berikut :
1. Tanpa adanya penetapan pengadilan tetapi KUA tetap mencatat perkawinannya, ini bertentangan dengan Pasal 20 Undang Undang No 1 Tahun 1974.
2. Penetapan Pengadilan yang tidak memenuhi unsur alternatif alasan dan komulatif syaratnya poligami, khususnya istri tidak memberikan ijin tetapi penetapan poligami tetap dilakukan oleh pengadilan atau istri tidak mengetahui dan atau dipanggil pengadilan terkait dengan penetapan poligami.
Apabila ada poligami yang diduga tidak memenuhi syarat - syaratnya maka istri dapat melakukan gugatan untuk pembatalan perkawinan poligami tersebut berdasarkan pasal 22 Undang Undang No 1 Tahun 1974.
Kesimpulan
1. Poligami memang diperbolehkan secara hukum akan tetapi harus adanya bukti yang sah bahwa alasan alternatifnya terpenuhi salah satu dan syarat komulatifnya terpenuhi semua.
2. Tanpa Persetujuan Istri maka ijin poligami tidak bisa diberikan.
3. Poligami dapat dimintakan pembatalan ke pengadilan apabila tidak memenuhi syarat - syarat yang diwajibkan peraturan.
Wallohul muwafiq ilaa aqwamith thorieq
Wassalam
Isnanto, SH
Friday, 17 March 2017
Perjanjian Bersama PHK dengan Pesangon dibawah Pasal 156 UU No.13 Th 2003, Sah?
Perhitungan pesangon akibat dari pemutusan hubungan kerja telah diatur di Pasal 156 Undang Undang No 13 Tahun 2003, sedangkan untuk jenis - jenis pemutusan hubungan kerjanya diperinci dari pasal 158 hingga pasal 169.
Perselisihan PHK antara pekerja dengan pengusaha terjadi karena :
1. Alasan dan atau prosedur PHK tidak sesuai dengan pasal 158 hingga pasal 169, intinya tidak mau di-PHK.
2. Perhitungan Pesangon/hak PHK yang tidak sesuai dengan aturan Pasal 156, ada sebagian yang menafsirkan frasa di Pasal 156 ayat 2 ".....paling sedikit....." sebagai alasan untuk meminta pesangon diatas ketentuan Pasal 156.
Dilihat dari nilai pesangonnya PHK dapat digolongkan sbb :
1. Alasan dan atau prosedur PHK tidak sesuai dengan pasal 158 hingga pasal 169, intinya tidak mau di-PHK.
2. Perhitungan Pesangon/hak PHK yang tidak sesuai dengan aturan Pasal 156, ada sebagian yang menafsirkan frasa di Pasal 156 ayat 2 ".....paling sedikit....." sebagai alasan untuk meminta pesangon diatas ketentuan Pasal 156.
Dilihat dari nilai pesangonnya PHK dapat digolongkan sbb :
1. Pesangon 2 X pasal 156 ayat 2, Penghargaan masa kerja 1 x Pasal 156 ayat 3 dan penggantian hak 1 x Pasal 156 ayat 4
2. Pesangon 1 X pasal 156 ayat 2, Penghargaan masa kerja 1 x Pasal 156 ayat 3 dan penggantian hak 1 x Pasal 156 ayat 4
3. Penghargaan masa kerja 1 X Pasal 156 ayat 3, penggantian hak 1 x Pasal 156 ayat 4
4. Penggantian Hak 1 X Pasal 156 ayat 4, Uang Pisah
5. Tidak dapat apa - apa
Perselisihan PHK sendiri didefinisikan dalam Pasal 1 angka 4 Undang Undang No 2 tahun 2004 tentang PPHI sbb : " Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak".
Secara a-contrario adalah tidak ada perselisihan PHK apabila dilakukan oleh kedua belah pihak, dalam arti sepakat melakukan PHK dan saling menerima hak kewajiban masing - masing.
Dalam menyelesaian perselisihan PHK ini sesuai dengan amanat UU no 2 tahun 2004 adalah :
1. musyawarah mufakat dalam perundingan bipartit.
2. Mediasi atau konsiliasi.
3. Peradilan Hubungan Industrial
4. Kasasi Mahkamah Agung.
Perjanjian Bersama hanya ada dalam proses bipartit dan Mediasi/konsiliasi, dimana substansi dari Perjanjian Bersama tentang :
1. Kesepakatan PHK
2. Kesepakatan nilai pesangon / hak PHK
Perjanjian Bersama merupakan produk musyawarah mufakat baik secara bipartit maupun tripartit dan produk dari kesepakatan menerima anjuran mediator atau konsiliator. Dengan begitu jelas maka konsep dasarnya adalah azas kebebasan berkontrak sesuai dengan pasal 1320 BW, maka Perjanjian Bersama adalah mengikat para pihak seperti undang undang ( Pacta sunt servanda Pasal 1338 BW ) dimana Perjanjian Bersama tersebut tidak bisa dibatalkan oleh satu pihak.
Dengan Perjanjian Bersama berarti kedua belah pihak telah secara sukarela menerima dan menyetujui adanya PHK dan nilai pesangon / hak PHK yang termantup di dalamnya.
Namun yang menjadi perdebatan adalah apabila isi Perjanjian Bersama nilai pesangon / hak PHK lebih rendah dari ketentuan Pasal 156 sampai Pasal 169 Undang Undang Ketenagakerjaan no.13 tahun 2003, apakah unsur causa halal Perjanjian Bersama tersebut terpenuhi?
Apabila merujuk kepada ketentuan tersebut maka "seolah - olah " sudah final hak PHK / pesangon karena hitungannya sudah jelas dan gamblang, akan tetapi ketika menjadi perselisihan PHK maka ketentuan dalam Undang Undang no.2 tahun 2004 khususnya Pasal 7, 13 dan 23 menjadi "lex specialist derogat legi generali" dimana ada proses non litigasi dengan musyawarah mufakat baik bipartit maupun tripartit, kalau ada kesepakatan dibuatkan Perjanjian Bersama, kalau tidak ada kesepakatan maka ditempuh melalui jalur litigasi.
Dengan begitu maka unsur causa halalnya terpenuhi sesuai dengan Undang Undang No 2 tahun 2004.
Apakah Perjanjian Bersama yang sudah ditandatangani tetapi belum didaftarkan ke pengadilan dapat dibatalkan atau diingkari oleh salah satu pihak?
Jawabannya tidak karena Perjanjian Bersama mengikat para pihak bagai undang undang ( Pasal 1338 BW dan Pasal 7,13,23 Undang Undang No 2 tahun 2004 ) dan pendaftaran ke pengadilan untuk kepentingan eksekutorial saja, bukan keabsahan Perjanjian Bersama.
Kesimpulannya Perjanjian Bersama yang memperjanjikan nilai pesangon / hak PHK dibawah ketentuan Undang Undang no 13 tahun 2003 khususnya Pasal 156 sampai Pasal 169 sah menurut hukum yaitu sesuai dengan azas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 7, 13 dan 23 Undang Undang No 2 tahun 2004 juncto pasal 1320 dan 1338 BW.
Dalam menyelesaian perselisihan PHK ini sesuai dengan amanat UU no 2 tahun 2004 adalah :
1. musyawarah mufakat dalam perundingan bipartit.
2. Mediasi atau konsiliasi.
3. Peradilan Hubungan Industrial
4. Kasasi Mahkamah Agung.
Perjanjian Bersama hanya ada dalam proses bipartit dan Mediasi/konsiliasi, dimana substansi dari Perjanjian Bersama tentang :
1. Kesepakatan PHK
2. Kesepakatan nilai pesangon / hak PHK
Perjanjian Bersama merupakan produk musyawarah mufakat baik secara bipartit maupun tripartit dan produk dari kesepakatan menerima anjuran mediator atau konsiliator. Dengan begitu jelas maka konsep dasarnya adalah azas kebebasan berkontrak sesuai dengan pasal 1320 BW, maka Perjanjian Bersama adalah mengikat para pihak seperti undang undang ( Pacta sunt servanda Pasal 1338 BW ) dimana Perjanjian Bersama tersebut tidak bisa dibatalkan oleh satu pihak.
Dengan Perjanjian Bersama berarti kedua belah pihak telah secara sukarela menerima dan menyetujui adanya PHK dan nilai pesangon / hak PHK yang termantup di dalamnya.
Namun yang menjadi perdebatan adalah apabila isi Perjanjian Bersama nilai pesangon / hak PHK lebih rendah dari ketentuan Pasal 156 sampai Pasal 169 Undang Undang Ketenagakerjaan no.13 tahun 2003, apakah unsur causa halal Perjanjian Bersama tersebut terpenuhi?
Apabila merujuk kepada ketentuan tersebut maka "seolah - olah " sudah final hak PHK / pesangon karena hitungannya sudah jelas dan gamblang, akan tetapi ketika menjadi perselisihan PHK maka ketentuan dalam Undang Undang no.2 tahun 2004 khususnya Pasal 7, 13 dan 23 menjadi "lex specialist derogat legi generali" dimana ada proses non litigasi dengan musyawarah mufakat baik bipartit maupun tripartit, kalau ada kesepakatan dibuatkan Perjanjian Bersama, kalau tidak ada kesepakatan maka ditempuh melalui jalur litigasi.
Dengan begitu maka unsur causa halalnya terpenuhi sesuai dengan Undang Undang No 2 tahun 2004.
Apakah Perjanjian Bersama yang sudah ditandatangani tetapi belum didaftarkan ke pengadilan dapat dibatalkan atau diingkari oleh salah satu pihak?
Jawabannya tidak karena Perjanjian Bersama mengikat para pihak bagai undang undang ( Pasal 1338 BW dan Pasal 7,13,23 Undang Undang No 2 tahun 2004 ) dan pendaftaran ke pengadilan untuk kepentingan eksekutorial saja, bukan keabsahan Perjanjian Bersama.
Kesimpulannya Perjanjian Bersama yang memperjanjikan nilai pesangon / hak PHK dibawah ketentuan Undang Undang no 13 tahun 2003 khususnya Pasal 156 sampai Pasal 169 sah menurut hukum yaitu sesuai dengan azas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 7, 13 dan 23 Undang Undang No 2 tahun 2004 juncto pasal 1320 dan 1338 BW.
Thursday, 9 March 2017
Butuh Bantuan Hukum
Advokat / Konsultan Hukum – Konsultan Ketenagakerjaan
Perum Sidokare Asri Sidoarjo Telp / WA 081252229338
Assalamu'alaikum Wr Wb
Salam hormat,
kami dari AZA & PARTNERS - Advokat / konsultan Hukum - Konsultan Ketenagakerjaan yang berintegritas dan profesional ( garansi bukan bagian dari masalah, seperti keluhan rekan - rekan HRD ) dimana tim kami terdiri dari :
1. Advokat dengan background ex - HRD dan/ Legal perusahaan yang memiliki pengalaman 10 tahun lebih.
2. Praktisi HRD
3. Dosen Hukum
4. Advokat spesialis dan umum
Kami siap membantu bapak / ibu / saudara yang menghadapi permasalahan hukum, baik sebagai pengacara maupun sebagai konsultan hukum. Adapun Jasa advokat / Konsultan hukum dan Konsultan ketenagakerjaan yang kami berikan sbb :
1. In House Lawyer ; kami menjadi Pengacara/Kuasa Hukum dan konsultan hukum Bapak / Ibu / Saudara berdasarkan durasi waktu tertentu, baik secara litigasi maupun non litigasi, fee gratis ( berlaku kondisi yang disepakati kemudian ).
2. In House Consultants ; kami menjadi konsultan hukum bapak / ibu / saudara berdasarkan durasi waktu tertentu, sedangkan untuk menjadi Pengacara/Kuasa Hukum Bapak / Ibu / Saudara berdasarkan surat kuasa yang diberikan kepada kami, dengan fee 50% dari fee normal.
1. In House Lawyer ; kami menjadi Pengacara/Kuasa Hukum dan konsultan hukum Bapak / Ibu / Saudara berdasarkan durasi waktu tertentu, baik secara litigasi maupun non litigasi, fee gratis ( berlaku kondisi yang disepakati kemudian ).
2. In House Consultants ; kami menjadi konsultan hukum bapak / ibu / saudara berdasarkan durasi waktu tertentu, sedangkan untuk menjadi Pengacara/Kuasa Hukum Bapak / Ibu / Saudara berdasarkan surat kuasa yang diberikan kepada kami, dengan fee 50% dari fee normal.
3. Memberships ; paket hemat bagi perusahaan yang memiliki resiko hukum rendah dengan menjadi anggota dengan membayar iuran anggota sebesar Rp 1.000.000,- per bulan, fasilitas : konsultasi hukum ketenagakerjaan free via email, bisa menjadi konsultan / pengacara dengan kondisi tertentu.
4. Case by case ; kami menyediakan jasa advokat / konsultan hukum bagi semuanya yang sedang menghadapi permasalahan hukum dengan kondisi :
a. Professional Fee
b. Pro bono / gratis ( sesuai aturan )
4. Case by case ; kami menyediakan jasa advokat / konsultan hukum bagi semuanya yang sedang menghadapi permasalahan hukum dengan kondisi :
a. Professional Fee
b. Pro bono / gratis ( sesuai aturan )
Apabila Bapak / Ibu / Saudara membutuhkan bantuan hukum silahkan hubungi AZA & PARTNERS di :
Email : isnantosh@gmail.com
Terima kasih atas kepercayaan Bapak / Ibu / Saudara kepada AZA & PARTNERS
Wassalamu'alaikum Wr wb
Sidoarjo, 14 September 2018
Hormat
kami,
Isnanto, SH
Managing Partner
Subscribe to:
Posts (Atom)
-
Hukum Poligami Konstruksi hukum perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang Undang No 1 tahun 1974 adalah monogami dan monoandri, ar...
-
Undang Undang No 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial / PPHI berlandaskan pada geist penyelesaian secara mus...
-
Perhitungan pesangon akibat dari pemutusan hubungan kerja telah diatur di Pasal 156 Undang Undang No 13 Tahun 2003, sedangkan untuk jenis -...