Wednesday, 16 November 2016

Kupas Mogok Kerja

Mogok kerja??? Aktifitas ini seakan menjadi "keharusan" Serikat Pekerja untuk melakukannya ketika terjadi perselisihan hubungan industrial dan menjadi kartu truf bagi Pengusaha. Kemarin baru dimulai perundingan, hari ini sudah mogok kerja. Bagaimana trik Serikat Pekerja? gampang saja, kirim surat minta berunding, tanggapan Pengusaha belum ada, 3 hari kemudian buat surat pemberitahuan mogok kerja untuk mogok kerja 7 hari kemudian. Jadi pas saatnya ada perundingan dibawah bayang - bayang ancaman mogok kerja. Perundingan yang baru dimulai umumnya masih mengambil posisi yang tegas masing - masing pihak,  apalagi sudah ada rencana mogok kerja, tentu bobot masalahnya baik secara kualitas maupun kuantitasnya pasti "mantap"sehingga mustahil bisa tercapai kesepakatan dalam waktu 1 minggu. Maka terjadilah mogok kerja pada hari ke-10 dari surat permintaan berunding.
Apakah mogok kerja ini sah secara hukum?
Mari kita urai hal mogok kerja sbb :
Mogok kerja adalah hak dasar pekerja yang dapat dilaksanakan setelah gagalnya perundingan dengan syarat harus dilaksanakan secara sah, tertib dan damai. Pasal 137 Undang undang No 13 Tahun 2003.
Kapan hak mogok kerja boleh dipakai? setelah gagalnya perundingan. Apa itu gagalnya perundingan? Definisi normatif di Undang - undang 13 / 2003 tidak ada, hanya dalam penjelasan pasal 137 dijelaskan  ".....yang dimaksud gagalnya perundingan adalah tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan atau perundingan mengalami jalan buntu."
Kapan dikatakan perundingan gagal? setelah berunding 1x atau 2x atau sudah mengirimkan surat permintaan perundingan berapa x? Tidak ada, dengan begitu 1x perundingan pun kalau tidak tercapai kata sepakat atau 1 hari pun tidak menanggapi ajakan berunding maka dapat dikategorikan gagal perundingannya? Celah hukum ini ditutup dengan Kepmennakertrans No.232/MEN/2003 pasal 4 dimana : Serikat Pekerja atau pekerja telah meminta secara tertulis kepada pengusaha untuk berunding minimal 2x dalam durasi waktu 14 hari kerja atau perundingan - perundingan (jamak, berarti tidak boleh 1x perundingan saja) mengalami jalan buntu yang dinyatakan dalam risalah bipartit.
Mogok kerja menurut Kepmennakertrans No.232/MEN/2003 dapat dilakukan setelah 14 hari kerja pengusaha tidak mau diajak berunding atau setelah berunding minimal 2x dengan status tidak ada kesepakatan/buntu. Apakah ini konklusi hukumnya?
Mogok Kerja adalah instrumen hukum yang diberikan kepada Pekerja dan merupakan bagian penyelesaian perselisihan hubungan industrial agar pekerja memiliki posisi tawar yang sepadan dengan pengusaha. Dengan begitu maka mari kita buka Undang undang nomor 2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial pasal 3 ;
>>ayat 2 : " penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam pada ayat 1 harus diselesaikan paling lama 30 (tigapuluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan."
>>ayat 3 : "apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh ) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan maka perundingan bipartit dianggap gagal".
Nah lho,,,,,bingung kan?  pernah dengar azas " Lex superior derogat legi inferior " ....aturan hukum yang lebih tinggi mengalahkan aturan hukum yang lebih rendah. Dengan begitu jelas bahwa syarat gagalnya perundingan adalah  pengusaha tidak mau berunding setelah 30 hari dari permintaan tertulis untuk berunding atau tidak ada kesepakatan dalam perundingan bipartit dan disepakati untuk melanjutkan perselisihan ke tripatit sebelum 30 hari sejak dimulainya perundingan.
Jadi mogok kerja yang dilakukan sebelum 30 hari kerja terhitung dari dikirimnya surat permintaan berunding tetapi belum ada perundingan bipartit dan atau perundingan bipartit belum dinyatakan gagal dengan menyepakati melanjutkan perselisihan ke tripartit  adalah MOGOK KERJA TIDAK SAH.
Dengan begitu jelas dan gamblang contoh mogok kerja diatas adalah tidak sah.


Mari bersama saya menjadi Pekerja yang cerdas!!!!!

Syarat - syarat mogok kerja
1. Adanya status "gagalnya perundingan" ( bisa dibaca diatas ).

2. Memberikan surat pemberitahuan 7 hari kerja sebelumnya ke perusahaan dan Disnaker                    ( dibuktikan dengan tanda terima ).
Bagaimana jika perusahaan tidak mau memberikan tanda terima walaupun perintahnya wajib? Entah bagaimana caranya karyawan yang akan mogok kerja harus mempunyai tanda terima atau setidaknya bukti bahwa surat tersebut sudah diberikan ke perusahaan, dengan cara :
a. diserahkan ke HRD, jika ada tanda terima selesai, jika tidak?
b. direkam saat momen penyerahan surat tersebut
c. dikirim melalui kantor pos
d. dikirim ke email resmi HRD dan atau pimpinan setingkat manager up. 

3. Isi surat wajib memuat :
    a. waktu mogok kerja; hari, tanggal, jam mulai dan jam berakhir
    b. tempat mogok kerja
    c. alasan dan sebab melakukan mogok kerja ( lihat poin 1 )
    d. Tanda tangan ketua dan sekretaris Serika Pekerja atau penanggungjawab mogok kerja

 Apabila tidak memenuhi poin - poin tersebut maka mogok kerja menjadi tidak sah.
Konsekuensi dari mogok kerja tidak sah sbb :
1. Jika tidak ada pemberitahuan dan atau pemberitahuan kurang dari 7 hari kerja sebelumnya maka perusahaan dapat mengusir keluar area pabrik.
2. Gaji tidak dibayar / No Work No Pay
3. Mendapatkan Surat Peringatan dengan alasan tidak menjalankan pekerjaannya.
4. Dianggap mengundurkan diri apabila sudah diberikan pemanggilan secara tertulis sebanyak 2x selama 7 hari. Artinya jika sudah ada pemanggilan 2x maka di hari ke-8 mogok kerja, karyawan tersebut dapat di PHK dengan kategori mengundurkan diri.


Apakah mogok kerja yang sah berhak mendapatkan gaji?
Selama mogok kerja dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 139 dan 140 Undang - Undang 13 tahun 2003 dan tuntutannya adalah hak normatif maka pengusaha wajib membayar gaji karyawan yang mogok kerja tersebut.
Apa Hak Normatif? adalah hak yang harus diterima pekerja dan harus diberikan oleh perusahaan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Hati - hati mogok kerja sah tetapi tidak dibayar jika tuntutannya tidak normatif

Study in case " Moker buruh PT Yanaprima Hastapersada, Sidoarjo, berakhir PHK karena dianggap mengundurkan diri ".

Fakta :
1. Surat pemberitahuan mogok kerja sudah diberikan 7 hari kerja sebelumnya, tetapi tidak ada hari dan jam berakhirnya mogok kerja.
2. Sudah ada perundingan bipartit dan ada risalahnya pada tanggal 19 dan 28 Mei 2015
3. Mogok kerja divonis tidak sah dengan alasan perundingan belum gagal tetapi akan dilanjutkan sesuai dengan risalah bipartit tertanggal 28 Mei 2015.
4. Tidak ada surat pemanggilan masuk kerja untuk karyawan yang mogok kerja

Analisa hukum
1. Mogok kerja tidak sah karena tidak ada hari dan jam berakhirnya sesuai dengan pasal 140 ayat 2 huruf a juncto pasal 142 ayat 1 Undang Undang No 13 tahun 2003.
2. Argumentasi bahwa "perundingan belum gagal karena masih akan berlanjut lagi perundingannya" patut dianalisa lebih dalam. Menurut Undang undang 13 tahun 2003 pasal 137 dan penjelasannya juncto pasal 4 Kepmennakertrans 232/MEN/2003 juncto Pasal 2 dan Pasal 3 Undang undang no 2 tahun 2004 yang dikatakan gagal perundingan adalah "tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial", dengan beberapa rumusan sbb :
    a. Pekerja sudah meminta secara tertulis untuk berunding dengan pengusaha minimal 2x dalam durasi waktu 14 hari tetapi tidak ditanggapi atau tidak ada perundingan bipartit, artinya paling cepat hari ke-15 bisa mogok kerja. Tetapi ketentuan 14 hari tidak mau berunding ini bertentangan dengan Pasal 3 Undang Undang no 2 tahun 2004 karena undang undang mensyaratkan 30 hari, untuk minimal 2x permintaan tertulis berundingnya tetap bisa berlaku sebagai wujud itikad baik.
     b. Perundingan bipartit lebih dari 30 hari tidak mencapai kesepakatan, artinya jika ada bipartit maka di hari ke-31 bisa dilakukan mogok kerja kalau belum ada kesepakatan.
   c. Perundingan - perundingan mengalami jalan buntu "yang dinyatakan " dalam risalah bipartit.
Pengertian gagal perundingan linear dengan "tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial ", dengan begitu maka walaupun di risalah bipartit dinyatakan perundingan akan dilanjutkan tetapi sudah melewati 30 hari maka dapat divonis perundingan bipartit sudah gagal.
       d. Perundingan Bipartit gagal dibuktikan dengan mencatatkan perselsihan tersebut ke Dinas Tenaga Kerja untuk penyelesaian Mediasi / Konsiliasi / Arbitrase.
Dengan begitu bisa ditafsirkan bahwa gagalnya perundingan sebagai dasar mogok kerja adalah :
DICATATKANNYA perselisihan ke Dinas Tenaga Kerja setelah Hari ke-30 permintaan berunding tidak direspon pengusaha dan atau perundingan bipartit tidak tercapai kesepakatan dan atau ada kesepakatan akan melanjutkan perselisihan ke Dinas Tenaga Kerja walaupun belum melewati 30 hari.

Jadi argumentasi perusahaan diatas menurut saya sudah benar dimana perundingan bipartit belum melewati 30 hari dan atau belum ada kesepakatan untuk mencatatkan perselisihan ke Dinas Tenaga Kerja akibat perundingan bipartit yang gagal.

3. Tidak adanya surat pemanggilan kerja selama proses mogok kerja tersebut tidak bisa menjadi alasan PHK dengan alasan mengundurkan diri krn jelas di Pasal 6 ayat 3 Kepmennakertrans 232/2003 dinyatakan bahwa " pekerja / buruh yang tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 maka dianggap mengundurkan diri ". Sangat mudah sekali mencerna norma hukum ini dimana kausalitas normanya adalah sebab : tidak memenuhi panggilan, akibat : dianggap mengundurkan diri. Jika tidak ada panggilan sebagai sebab, akibatnya apa? dianggap tidak mengundurkan diri.
Dengan begitu maka tidak sah karyawan tersebut di-PHK dengan alasan mengundurkan diri.

Kesimpulan

Saya sepakat mogok kerja tidak sah karena tidak mencantumkan hari, jam akhir mogok kerja dan belum ada gagalnya perundingan bipartit, tetapi mem-PHK karyawan yang mogok kerja tidak sah dengan kualifikasi mengundurkan diri tanpa ada surat panggilan kerja adalah melanggar hukum.


Wallohul muwafiq Ilaa Aqwamith thorieq

wassalam
Advokat Isnanto, SH


Pekerja Outsourching Dapat Menjadi Karyawan Tetap

Status hubungan kerja karyawan dibagi menjadi 2 (dua)  menurut Undang Undang No 13 Th 2003 Pasal 56 yaitu :

            1. Waktu Tertentu / populer dengan istilah Pekerja Kontrak
            2. Waktu Tidak Tertentu / populer dengan istilah Pekerja Tetap

Apakah boleh setiap karyawan di kontrak / waktu tertentu ?
TIDAK, hanya karyawan yang pekerjaannya memenuhi ketentuan dibawah ini yang dapat dijadikan karyawan kontrak/waktu tertentu sesuai Pasal 59 UU No 13 Th 2003 yaitu :

            1. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
            2. Pekerjaan tersebut maksimal selesai 3 (tiga) tahun;
            3. Pekerjaan musiman;
            4. Pekerjaan yang terkait produk baru, percobaan, kegiatan baru

Tafsirnya adalah pekerjaan yang dapat diikat dengan hubungan kerja waktu tertentu hanyalah jenis dan sifat pekerjaannya HARUS memenuhi unsur 4 (empat) diatas, tidak peduli insourching atau outsourching, yaitu pekerjaan sementara karena : musiman, produk baru, percobaan, kegiatan baru, yang HARUS selesai maksimal 3 (tiga) tahun, namun apabila belum selesai akan diberikan pembaharuan maksimal 2 (dua) tahun setelah jeda 1 (satu) bulan, sehingga total masa kontrak hubungan kerja waktu tertentu maksimal 5 (lima) tahun.
Jadi apabila tidak memenuhi jenis dan sifat pekerjaan yang sementara karena musiman, produk baru, percobaan dan kegiatan baru dan atau jenis dan sifat pekerjaan tersebut terus menerus yang tidak berhenti sampai 5 (lima) tahun saja maka karyawan tersebut TIDAK BOLEH menjadi karyawan waktu tertentu.

Apakah pekerja outsourching dapat menjadi karyawan tetap?
Pada Pasal 65 Ayat 7 UU 13 Tahun 2003 ditegaskan bahwa pekerja outsourching atau pemborongan pekerjaan dapat menjadi perjanjian waktu tertentu / karyawan kontrak atau perjanjian waktu tidak tertentu / karyawan tetap sesuai Pasal 59 UU 13 Tahun 2003.
Kenapa? karena yang di-outsourching-kan / diborongkan adalah jenis pekerjaan penunjang / non corebusiness, sedangkan sifat pekerjaan yang sementara atau terus menerus tidak terkait langsung dengan klasifikasi corebusiness atau non corebusiness, dimana sifat pekerjaan sementara atau terus menerus dapat ada di pekerjaan core business dan atau di pekerjaan non core business.

Contoh :
1. Satpam A bekerja di PT X sejak 7 bulan yang lalu di tempatkan di PT Pao - Pao yang sudah berdiri sejak 10 tahun yang lalu, maka sifat pekerjaan terus menerus, tidak ada percobaan atau kegiatan baru, sehingga TIDAK MEMENUHI sifat pekerjaan sementara, jadi Satpam A secara hukum adalah HARUS  karyawan tetap PT X.

2. Satpam B bekerja di PT X sejak 2 bulan yang lalu ditempatkan di PT Pao - Pao cabang Surabaya yang baru didirikan pada 1 tahun yang lalu, maka sifat pekerjaan sementara terpenuhi yaitu ada kegiatan baru dan belum 3 tahun maka Satpam B secara hukum dapat menjadi karyawan Kontrak PT X.

3. Operator A adalah operator mesin filling/core business bekerja di PT X sejak 7 bulan yang lalu di tempatkan di PT Pao - Pao yang sudah berdiri sejak 10 tahun yang lalu, maka outsourching / pemborongan pekerjaan tersebut tidak sah karena pekerjaan corebusiness, secara hukum kembali menjadi karyawan PT Pao - Pao, serta karena sifat pekerjaan terus menerus, tidak ada percobaan atau kegiatan baru, sehingga TIDAK MEMENUHI sifat pekerjaan sementara maka Operator A secara hukum adalah HARUS  karyawan tetap PT Pao - Pao.

4. Operator A adalah operator mesin filling/core business bekerja di PT X sejak 2 bulan yang lalu di tempatkan di PT Pao - Pao yang baru didirikan pada 1 tahun yang lalu, maka outsourching / pemborongan pekerjaan tersebut tidak sah karena pekerjaan corebusiness, secara hukum kembali menjadi karyawan PT Pao - Pao, serta karena sifat pekerjaan sementara terpenuhi yaitu ada kegiatan baru dan belum 3 tahun maka Operator A secara hukum dapat menjadi karyawan Kontrak PT Pao - Pao.

Pihak Outsourching berargumentasi bahwa sifat pekerjaan mereka sementara sesuai kontrak dengan pengguna jasa, apakah benar argumentasi hukum ini?
Argumentasi ini salah karena sifat sementaranya ada pada pekerjaannya tersebut yaitu sekali selesai maksimal 3 tahun, musiman dan pekerjaan baru, percobaan, produk baru, sedangkan untuk karena kontrak kerja sama tidak termasuk dalam klausula pekerjaan waktu tertentu.

Kesimpulan

Perlakuan hukum terhadap Pekerja Outsourching sama dengan Pekerja lainnya, apabila jenis dan sifat pekerjaan memenuhi unsur Pasal 59 Undang Undang No 13 Tahun 2003 maka akan menjadi Karyawan Kontrak, apabila tidak memenuhi maka akan jadi Karyawan Tetap.

Wallohul muwafiq ilaa aqwamith thorieq
Wassalam

Isnanto,SH

Adakah Pidana Bagi Perusahaan Yang Menggunakan UMP Dan Tidak Menggunakan UMK

Konstruksi hukum Upah Minimum sebagai jaring pengaman sosial untuk pencapaian kebutuhan hidup yang layak bagi pekerja sesuai amanat UUD 1945 Pasal 28H. Oleh karena itu tidak melaksanakan upah minimum, sebagaimana norma larangannya di pasal 90 ayat 1, dijerat dengan tindak pidana kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 185 Undang Undang No 13 Tahun 2003 dengan ancaman pidana minimal 1 tahun dan maksimal 4 tahun penjara.

Upah minimum sendiri terdiri dari :
1. Upah Minimum Kabupaten / Kota
2. Upah Minimum Propinsi
3. Upah Minimum Sektoral Propinsi / Kabupaten / Kota

Dalam Pasal 90 ayat 1 Undang Undang 13 tahun 2003 dinyatakan bahwa :
" Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ."

Pasal 89 lengkapnya berbunyi :
"1. Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat 3 huruf a dapat terdiri atas :
    a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten / kota
    b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten /kota
 2. Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak.
 3. Upah minimum sebagaimana dimaksud ayat 1 ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan atau Bupati / Walikota
 4. Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 diatur dengan keputusan menteri."

Kemudian dalam pasal 1 Permennaker 7 tahun 2013 angka 2 dan 3 sebagai berikut :
"2. Upah Minimum Provinsi yang selanjutnya disingkat UMP adalah upah minimum yang berlaku untuk seluruh Kabupaten / Kota di satu Provinsi.
 3. Upah minimum Kabupaten / Kota yang selanjutnya disingkat UMK adalah upah minimum yang berlaku di wilayah kabupaten / kota."

Ada yang menarik dari ketentuan hukum diatas tentang UPAH MINIMUM YANG MANA : UMP atau UMK??? yang menjadi dasar pijakan hukum terjadinya tindak pidana pengupahan diatas.
Dengan mengacu azas Lex Superior derogat legi inferior " Hukum yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang lebih rendah ", maka kita kaji dulu dari sisi Undang Undang no 13 tahun 2003, setelah itu aturan hukum dibawahnya.
Jika mengacu pada tindak pidana yang dirumuskan maka tindak pidana itu ada di rumusan Pasal 90 ayat 1 juncto pasal 89 dimana tidak secara definitif menyebutkan Upah Minimum mana yang dilanggar, justru formula norma hukum di Pasal 89 ayat 1 adalah ".....atau ...." optional / pilihan artinya BISA MEMILIH salah satu antara UMP atau UMK.

Ada yang berpendapat dengan memakai azas Lex Specialist derogat legi generali maka yang berlaku adalah UMK bukan UMP. Menurut saya pendapat ini tidak benar karena azas ini dapat dipakai jika pijakan hukumnya ada dan sederajat.

Dalam prinsip hukum pidana bahwa tidak ada pidana apabila tidak ada aturan hukum sebelumnya / nullum delictum nulla poena lege poenali,
Adapun rumusan delik pidananya adalah :
1. Barang siapa = pengusaha
2. melanggar = dilarang membayar upah lebih rendah dari UMP atau UMK secara acontrario membayar upah dibawah UMP atau UMK.....dimana upah minimumnya bersifat pilihan yaitu UMK atau UMP.....artinya membayar upah lebih rendah dari UMP atau membayar lebih rendah dari UMK maka......
Apabila premisnya adalah membayar upah sesuai UMP atau membayar lebih rendah dari UMK memenuhi delik pidana ini? Premis ini tidak ada dalam rumusan delik pidana upah sesuai pasal 185 juncto pasal 90 ayat 1 juncto pasal 89.

Masalahnya adalah  dalam PP 78 tahun 2016 pasal 46 ayat 2 juncto Permennaker 7 tahun 2013 Pasal 7 ayat 3 yang mensyaratkan bahwa UMK harus lebih tinggi dari UMP. Sehingga seolah - olah apabila menerapkan UMP akan melanggar hukum karena lebih rendah dari UMK. Munculnya norma baru dalam PP dan Permennaker yang tidak ada perintahnya dalam Undang Undang 13 tahun 2003 ini jelas melanggar hukum.
Dengan mengacu pada definisi UMP dan UMK di Permennaker 7 tahun 2013 maka dapat disampaikan bahwa UMP berlaku untuk seluruh provinsi, artinya berlaku juga untuk Kabupaten / Kota,  dimana kedudukan provinsi adalah diatas Kabupaten / Kota.

Opini hukum saya, bahwa Perusahaan tidak bisa dipidana karena perusahaan menerapkan UMP dengan tidak menerapkan UMK karena unsur perbuatannya tidak terpenuhi yaitu membayar upah lebih rendah dari upah minimum karena sudah membayar sesuai dengan upah minimum yaitu upah minimum provinsi/UMP.



Wallohul muwafiq Ilaa Aqwamith thorieq
Wassalam

Isnanto, SH


Membership Konsultan Ketenagakerjaan